Zahra Hafizha Rahma
5 min readNov 2, 2021
sumber foto: instagram.com/srizzati

Kisah Sri Izzati Mengembara Novel Menuju Iklan: Penuh Proses atau Takdir Belaka?

Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa. Ungkapan ini rasanya sangat pas untuk menggambarkan sosok perempuan muda yang satu ini. Usianya kala itu baru 8 tahun, tetapi rekor MURI sebagai penulis novel termuda telah berhasil didapatnya pada tahun 2004. Adalah Sri Izzati, gadis cantik berkacamata yang sukses mendobrak anggapan bahwa prestasi selalu identik dengan usia dan pengalaman hidup.

Hari itu, Sabtu (30/10/2021), dengan bertemu secara virtual, 328 para peserta Indonesia Writers Festival (IWF) dan ratusan pasang mata lain yang menonton melalui Live Youtube IDN Times bisa menyaksikan senyum manis gadis yang akrab disapa Izzati itu. Lengkung bibirnya melebar ketika tertawa, sorot matanya pun berbinar saat berbicara. Kentara sekali jika Izzati ini merupakan seseorang yang selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu, setidaknya ketika berbagi kisah tentang kehidupan menulisnya.

Nama Sri Izzati sendiri tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan pembaca Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK), khususnya mereka yang membaca pada tahun-tahun 2004–2011. Powerful Girls adalah novel pertamanya sekaligus novel yang berhasil membawa Izzati menjadi novelis termuda saat itu. Karya-karya lain yang juga berhasil membuat namanya mengudara di dunia kepenulisan adalah 2 of Me, Let’s Bake Cookies, Hari-Hari di Rainnesthood, dan lain sebagainya yang tidak kalah mengagumkan.

Menakjubkan rasanya membayangkan Izzati yang masih belia saat itu sudah menciptakan karya yang luar biasa. Di saat gadis lain seumurannya mungkin sedang asyik bermain Barbie atau masak-masakan, Izzati justru menyibukkan dirinya dengan menulis. Dengan nada pasti dan tanpa ada keraguan sedikitpun, perempuan yang pernah berprofesi sebagai UX writer ini bahkan mengatakan jika 3/4 hidupnya adalah tentang menulis.

“Hobi menulis aku itu awalnya karena aku suka baca dari kecil. Aku kemudian mulai menulis di diary, lalu beranjak menulis di komputer. Nah, sama Bapakku, tulisan itu di-print, dibawa ke tempat fotokopi, terus di-klipping,” ujar Izzati sambil tertawa kecil mengingat pengalaman awal menulisnya itu. Izzati juga mengisahkan bagaimana buku Powerful Girls pada mulanya diterbitkan secara mandiri sebelum akhirnya “diselamatkan” oleh Penerbit Dar! Mizan.

Gadis yang sekarang sedang menempuh pendidikan Fiction Writing di Univesitas Columbia ini bertutur bahwa menulis selalu menjadi pilihan dalam setiap aspek di hidupnya. Kata Izzati, meskipun menulis selalu berubah bentuk, tetapi semangat yang ditimbulkannya tetap sama serta selalu menyesuaikan ruang bagaimana Izzati tumbuh dan berkembang. Dari kesenangannya terhadap menulis ini pula, Izzati punya keinginan untuk menularkan semangat menulis ini kepada orang lain agar “kenikmatan” menulis itu tidak hanya dirasakannya sendiri.

Keinginan ini kemudian coba diikhtiarkan oleh Izzati dengan meneruskan pendidikan S2-nya di jurusan kepenulisan fiksi, dunia awal kepiawaian menulis Izzati berasal. Menurutnya, dengan melanjutkan pendidikannya, Izzati bisa memantaskan diri untuk mengadakan sekolah serta kelas menulis seperti apa yang telah ia cita-citakan. Namun, Izzati merasa sebelum bisa sampai ke sana, dirinya harus memiliki persiapan yang begitu matang, salah satunya adalah dengan memilih bekerja sebagai UX writer di perusahaan Gojek Indonesia.

Pekerjaan UX writer ini dipilih Izzati karena perempuan kelahiran 1995 ini hendak mencari referensi mengenai proses kreatif dan berkarya di luar ranah fiksi. Izzati juga tanpa ragu menyebutkan bahwa dirinya tertarik dengan bagaimana orang-orang kreatif Indonesia itu bekerja dan berkolaborasi. Tiga tahun lamanya menempa diri sebagai UX writer, Izzati mengakui ada banyak sekali pengalaman serta pelajaran yang memberikan kemudahan pada saat ia menjalani perkuliah S2-nya saat ini.

Namun, jalan menuju cita-cita pasti memiliki terjal, tanjakan, bahkan lubang yang dalam. Hal-hal semacam inilah yang ditemui Izzati dalam proses bekerja sambil belajarnya itu. “Dunia kepenulisan fiksi dan UX writer ini memiliki audiens, jenis tulisan, kepentingan, juga produk akhir yang sangat beda bentuknya. Perbedaan ini sendiri jadi tantangan untuk aku, khususnya dalam masa-masa awal transisi” ucap Izzati dengan raut wajah serius. Tergambar jelas kesulitan dari air mukanya ketika ia menceritakan saat pertama kali bekerja sebagai UX writer.

“Cukup banyak kesulitan, tetapi aku tetap menikmati pekerjaan itu” kata Izzati memecah suasana serius dengan audiens. “Hal ini karena sebenarnya tidak ada teknik menulis UX writing yang terlalu asing untuk dipelajari sekalipun aku memiliki background penulis fiksi. Irisan yang ada di keduanya membuat pekerjaan itu terasa begitu menyenangkan!” tuturnya lagi, kali ini dengan senyum mengembang di pipinya.

Izzati mengatakan bahwa UX writing adalah pekerjaan yang sarat akan proses tumbuh dan berkembang karena mensyaratkan penulisnya mengolaborasikan berbagai keterampilan. “Setidaknya ada lima keterampilan,” kepala Izzati menunduk sejenak, “sebentar, aku nyontek dulu, hehehe” candanya. Perempuan yang murah tersenyum ini lalu menjelaskan bahwa lima keterampilan yang ia maksud adalah berpikir kritis dan kreatif, keterampilan riset, keterampilan empati, keterampilan desain, serta terakhir yang menjadi pamungkasnya adalah keterampilan menulis.

“Nah, produk UX writing ini akan ditulis ketika sudah melewati proses berpikir runut yang melibatkan empat aspek sebelum menulis tadi.” Detik selanjutnya Izzati berkata bahwa keterampilan-keterampilan tersebut muncul di dunia kepenulisan fiksi. Hal ini tentu saja memudahkan Izzati dalam proses belajarnya tersebut. Oleh sebab itu, meskipun sekilas terlihat bagai bumi dan langit, alias bertolak belakang, kedua jenis tulisan ini akan menciptakan perpaduan yang sempurna jika dikolaborasikan.

Sejenak Izzati tampak berpikir ketika MC membacakan pertanyaan salah seorang audiens perihal jenis tulisan mana di antara keduanya yang lebih menantang. Barangkali Izzati sudah terlalu menikmati kegiatannya itu sehingga tidak merasa kedua jenis tulisan tersebut, baik fiksi maupun UX writing sebagai sebuah hal yang sulit. “Sebenarnya, engga apple to apple, ya, kalo dibandingin. Mereka berdua punya kesulitannya masing-masing karena punya tujuan dan hidup di lingkungan yang berbeda,” Izzati menjawab.

Rumah minimalis, begitulah Izzati menggambarkan kesulitan yang ia alami saat menjadi UX writer. Analogi itu dipilih karena ruangan atau space yang disediakan produk UX writing hanya sedikit, sementara UX writing tersebut harus mengandung informasi yang jujur, menarik, serta representatif. Keterbatasan jumlah karakter tulisannya yang hanya berkisar pada angka 30 inilah kemudian yang cukup men-trigger seorang penulis yang terbiasa menuliskan idenya dalam berpuluh-puluh, bahkan ratusan halaman.

Sedangkan pada kepenulisan fiksi, Izzati menuturkan jika proses “memasak”nya yang paling pelik. Dalam dunia fiksi, seorang penulis dituntut untuk bisa menyampaikan emosi melalui adegan/dialog tertentu serta menyusun plot cerita sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menarik. Proses “peracikan” ini adalah bagian terpenting sekaligus tersulit karena feel dalam tulisan fiksi sangat bergantung pada tahap tersebut.

Menjelang akhir acara yang bertajuk “How to Develop Your Writing Skills Beyond Limits: From Novelist to UX Writer”, Izzati tidak ketinggalan membagikan berbagai tips kalau-kalau ada dari sekian penontonnya yang ingin mengikuti jejak kariernya sebagai UX writer. Ia berujar, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca artikel tentang UX writing untuk mempelajari seluk beluk jenis tulisan itu. Selanjutnya, Izzati menyarankan untuk melakukan observasi terhadap jenis tulisan serupa yang ada di aplikasi lain untuk dikritisi. Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah mencoba menulis UX writing tersebut.

“Menulis adalah misteri yang akan terpecahkan kalau sudah kita lakukan. Artinya, untuk sampai pada tujuan menulis yang ingin kita capai, kita harus mulai menulis.” Izzati tersenyum manis menjawab pertanyaan MC yang terakhir. MC membalas senyumannya, penonton pun demikian adanya. Acara yang digelar oleh IDN Times itu sukses membuat malam pengantar weekend menjadi sangat berkesan. Setidaknya ketika berbaring di kasur dan mengucap doa sebelum memejamkan mata, para audiens Izzati akan mengingat bahwa menulis tidak pernah sesulit yang dibayangkan jika benar-benar dikerjakan dengan hati.

Artikel ini bersumber pada Live Youtube IDN Times dengan judul “How to Develop Your Writing Skills Beyond Limits: From Novelist to UX Writer” dalam acara Indonesia Writers Festival.

Zahra Hafizha Rahma
Zahra Hafizha Rahma

Written by Zahra Hafizha Rahma

Sedang belajar dan mengeksplorasi dunia sendiri:)

No responses yet